Selasa, Juli 31, 2018

Cerita Tentang Kue

Tak jauh dari warkop pohon belimbing. Ada seseorang yang ingin dijelaskan mengenai Syari’at, Tarekat, Hakikat dan Makrifat. Saya bilang kalau saya tidak tahu istilah-istilah itu. Tapi kemudian saya teringat sebuah kisah. Seperti ini kisahnya.



Saat siang yang panas itu, istri saya mendapatkan resep untuk membuat kue dari mama-nya yang notabene adalah mertua saya. Dia membacanya berulang kali, tak lama kemudian dia mulai berburu bahan-bahan pembuat kue sampai dengan peralatan penunjangnya. Akhirnya terkumpullah semua. Dan proses pembuatan kue pun dimulai. Peralatan di siapkan dan bahan-bahan dimasukkan satu persatu sesuai dengan takaran yang tertulis di resep kemudian diolah hingga menjadi adonan. Adonan itu pun di tuang kedalam cetakan dan dimasukkan kedalam oven.

Tak lama kemudian, waktunya sudah tiba dan jadilah kue itu. Dikeluarkan dari oven dan dihidangkan di meja. Istri saya menjadi yang pertama menyicipi kue tersebut, setelah mencobanya dia tampak kecewa, mungkin rasanya kurang sesuai. Tapi dia tidak menyerah, dia kembali mengikuti resep yang diberikan mama nya, dan membuat kue lagi. Sampai akhirnya jadilah kue itu. Dan hasilnya sesuai dengan yang diharapkan. Istri saya tersenyum dan tertawa gembira karena berhasil membuat kue yang enak mengikuti resep yang ia dapatkan.

Saat mertua saya menuliskan resep kue nya ke istri saya, sebenarnya apa yang dituliskannya itu sudah merupaka ILMU baginya, karena mertua saya menuliskan resep tadi bersama dengan RASA kuenya, yang sudah dia rasakan. Lalu saat istri saya menerima resep itu, bagi istri saya hal tersebut masih merupakan TEORI, sebab masih belum pernah sama sekali membuat kue itu, apalagi merasakan RASA nya. Menurut mertua saya, hasil resep kue ini enak, karena mertua saya sudah pernah membuat dan merasakannya. Sedangkan bagi istri saya, hal ini masih sekedar ‘katanya mama enak’, masih baru akan merasakan, masih sekedar dongeng.
Berhubung istri saya sungguh-sungguh ingin merasakan kue ini, maka dia pun ngelakoni alias mempraktekkan membuat kue merujuk pada resep yang telah diberikan mama nya. Namanya juga newbie, tentu tidak langsung jadi. Beberapa kali harus mengalami kegagalan. Namun harus tetap berjuang dan ISTIQOMAH, hingga akhirnya kue itu pun jadi. Istri saya tersenyum menatap kue bikinannya. Dengan tak sabar di raihnya, lalu dimasukkan kemulutnya dan istri saya pun bisa mendapatkan RASA kue yang enak itu.

Setelah istri saya merasa kue nya enak, dia pun memberikan kepada saya kue tersebut. Saya merasakan kue itu, memang enak. Tapi saya tidak pernah tahu bagaiamana rasa kue yang gagal. Saya orang yang beruntung, karena saya tidak perlu membaca resep, tak perlu membuat, tak perlu mengalami kegagalan. Saya langsung dapat merasakan kue itu. Hal itu hanya karena satu hal, yaitu mendapatkan IZIN atau bahasa kerennya RIDHO Nya. Tanpa RIDHO, semua hal yang saya ceritakan diatas tidak akan terjadi.

Itulah sekilas cerita tentang resep kue, kuenya, dan rasa kuenya. Jelas bahwa mereka berkaitan, namun resep kue bukannlah kuenya, apalagi rasanya. Masih ada jarak walaupun bersaudara. Kalau bisa, jangan resepnya yang dimakan, karena sudah pasti nggak enak. ๐Ÿ˜Š

Lalu apa hubungannya cerita resep kue, kuenya, dan rasa kuenya dengan Syari’at, Tarekat, Hakikat dan Makrifat? Seperti yang sudah saya bilang, bahwa saya tidak tahu, saya cuma ingat sebuah cerita

0 komentar: